Mungkin Kaliyan Saat ini Kualat Sama Gus Dur! “Stop Kriminalisasi Ulama”

Saat ini banyak orang yang teriak “Stop Kriminalisasi Ulama”.
Tapi apakah kaliyan yang berteriak saat ini lupa? Dulu Saat Gus Dur difitnah, dipermalukan dan dicaci maki Anda tidak membelanya. Atau mungkin Kaliyan dulu juga termasuk orang yang fitnah dan mencaci maki Gus Dur?

Mungkin Kaliyan Saat ini Kualat Sama Gus Dur! Stop Kriminalisasi Ulama
(c) Image : viva.co.id

Gus Dur sendiri bukan islam kemarin sore, beliau seorang ulama dan bukan ulama kemarin sore tentunya. Memang gelar beliau tidak ada embel-embel Habib. Tapi Gus Dur adalah ulama yang juga yang pernah jadi ketua ormas besar yaitu NU. Beliau juga merupakan anak dari salah satu kiai besar di Indonesia.

Yang lebih ironis lagi, saat itu beliau (Gus Dur) adalah seorang Presiden Negara Indonesia ini. Saat itu Gus Dur diturunkan secara paksa oleh orang-orang munafik salah satunya adalah orang yang gemar bilang perang badar. Beliau dituduh korupsi yang sampai saat ini pun tidak pernah dibuktikan lewat pengadilan.

Tidak seperti saat saat yang berteriak-teriak meminta umatnya untuk melakukan Jihad Revolusi Putih, Saat itu Gus Dur sama sekali tidak berteriak-teriak revolusi. Beliau saat itu justru meminta Warga Nahdiyin untuk tidak revolusi. Beliau dengan legowo menerima fitnah dan cacimaki yang dituduhkan kepada beliau. Gus Dur tidak mau terjadi pertumpahan darah antara sesama Bangsa Indonesia. Karena beliau Cinta Indonesia.

Jadi bagi kaliyan yang sekarang teriak-teriak “Stop Kriminalisasi Ulama” dimana kaliyan waktu Gus Dur mengalami hal serupa yaitu difitnah dan dicaci maki padahal sampai saat ini tidak pernah dibuktikan di pengadilan?

Jika yang sekarang memang tidak salah ikuti saja prosedur hukumnya. Tugas kita hanya mengawal. Jika Tidak bersalah pasti proses hukumnya juga tidak salah. Tapi Jika salah kita harus legowo, jang terlalu fanatik terhadap seseorang. Orang itu pasti tidak luput dari salah dan dosa.

Bagi Kaliyan yang lupa atau memang melupakan atau tidak tahu atau tidak kenap Gus Dur, saya beritahu!

Siapa Gus Dur? Profil Gus Dur!

Gus Dur menurut wikipedia pada laman https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid :
Dr.(H.C.) K. H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun)[1] adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B.J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).


Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban 1359 Hijriah, sama dengan 7 September 1940.

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”.[2] Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.[2]

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.[3] Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.




Informasi Seputar Konten Website Kami!

Kami hanya memberikan informasi dan tidak termasuk dalam hal kontak jasa atau bisnis yang berada dalam info situs kami, kecuali itu merupakan jasa dan bisnis kami sendiri. Layanan utama website atau situs kami adalah informasi, content placement, review dan periklanan. Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang content placement, review dan periklanan bisa hubungi kami di 085729826010. Informasi detail seputar detail jasa dan bisnis, Anda mencari lebih detail melalui situs pencari Google.



Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa.[4] Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[5][6]

Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[6] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.[6]

Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya.[7] Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.





Bagikan Artikel ini:
Facebook Twitter Blogger